Senin, 09 Februari 2009

DAMAI

“Damai itu indah” keindahan yang sekarang ini entah ada di mana. Keindahan yang mungkin telah tenggelam di dasar laut merah atau tertimbun salju abadi di kutub utara sana. Keindahan yang mungkin terdampar oleh ombak keserakahan egoisme manusia. Dan keindahan yang mungkin sudah pudar warnanya.
Keindahan itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang mampu melihat dunia sebagai hamparan keindahan yang maya. Keindahan itu hanya dimiliki oleh mereka yang mampu menghargai perbedaan dan perselisihan sebagai bagian keindahan dunia. Keindahan yang hanya milik manusia yang mampu menerima segala corak dan warna manusia sebagai rahmat dari_Nya.
Untuk apa kita mengatakan “damai itu indah” jika kita tak bisa menerima segala perbedaan yang ada. Untuk apa kita mengatakan “damai itu ada” jika kita membiarkan penindasan demi penindasan terjadi di depan mata kita. Layakkah kita mendapatkan kedamaian jika kita tak pernah peduli akan keberadaannya.
Hari ini arti “damai itu indah” sedang diuji di mata dunia. Kita diajak untuk membuka mata dan mencari perdamaian yang sering kita damba-dambakan itu. Adakah ia benar-benar ada, atau hanya sebuah slogan yang sesungguhnya tiada. Karena, dengan hanya mengatakan damai itu ada tidak menjadikan damai itu benar-benar ada tanpa kita membuktikan dan mewujudkan kedamaian itu secara nyata. Layaknya seorang pembual yang mengatakan “saya mempunyai mobil mewah”, namun tanpa menghadirkannya atau menunjukkan cirri-ciri dari mobil mewah yang ia miliki itu tidak berarti bahwa ia benar-benar memiliki mobil mewah yang ia katakana itu.
Jika memang damai itu ada, kenapa kita hanya diam melihat penindasan-demi penindasan yang terjadi di Palestina, irak, Afghanistan, dan Moro, belum lagi penindasan-penindasan yang lain yang secara kasat mata bisa dilihat oleh mata dunia. Apakah Indonesia, Malaysia, Amerika, Prancis dan Negara-negara lain tidak menginginkan perdamaian itu, sehingga mereka hanya diam melihat apa yang terjadi dan menginjak-injak arti “damai itu indah”. Jika kita memang ingin mendapatkan arti damai itu indah, seharusnya kita tidak hanya menjadi penonton dan ambil bagian dalam menemukan perdamaian itu, atau kita tidak akan pernah mendapatkan arti damai yang sesungguhnya. Adakah penonton sepak bola bisa menciptakan gol dan memberikan umpan untuk memenangkan sebuah pertandingan sepak bola? Jawabannya adalah “tidak pernah”. Karena penonton hanya akan bergembira ketika tim kesayangannya menang dan menangis ketika tim kesayangannya kalah tanpa dapat merasakan indahnya kemenangan dan pahitnya kekalahan.
“Hidup ini tak akan pernah berarti jika kita tidak pernah memberi arti terhadap hidup ini”. Adakah pohon kelapa itu berarti jika batang, buah serta daunnya tidak bermanfaat, atau adakah lebah itu berarti jika ia tidak memiliki madu dan membantu perkawinan tanaman untuk berbuah. Itu adalah sebuah perumpamaan bagi kita yang ingin memiliki arti dalam hidup ini, tapi jika kita tidak ingin memiliki arti dalam hidup ini, sepertinya cukuplah kita hanya jadi penonton dan pembual saja.
Cobalah sejenak kita renungkan “celoteh asing” di atas. Dengan begitu mungkin kita akan dapat menemukan dan mengembalikan arti damai yang selama ini tersembunyi entah di mana. Dalam sesaknya ruang yang tercipta untuk damai bersinggah, coba kita memberikan sedikit ruang dalam hati kita untuknya. Jangan biarkan ia terombang-ambing derasnya ombak perkembangan jaman yang semakin gila. Biarkan ia tumbuh subur dalam hati kita dengan menaburkan pupuk cinta kepada sesama dan dengan siraman air kasih sayang ke penjuru dunia. Lalu, jangan biarkan ia layu dan tak berbunga, agar ia mampu menghiasi dunia dengan keindahannya. Amin…

YAKUSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan tinggalkan pesan anda di bawah ini